Tokoh baru di Pilpres 2024 terhalang sistem politik Indonesia?

tokoh baru, termasuk untuk Pilpres 2024

topmetro.news – Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menyoroti sistem politik di Indonesia, yang menurutnya bisa menghambat munculnya tokoh baru, termasuk untuk Pilpres 2024.

Padahal menurut penilaianya, Indonesia memiliki banyak tokoh yang bisa menjadi capres) di Pilpres 2024. “Indonesia tidak akan kekurangan tokoh yang layak dan memiliki kapasitas untuk menduduki kursi orang pertama di negeri ini. Justeru sistem politik yang membuat hambatan dan penghalang. Sehingga tokoh-tokoh potensial akan layu sebelum berkembang dengan pemberlakuan ambang batas president threshold (PT) 20 persen,” katanya, Minggu (30/5/2021).

Pangi lantas menuding, bahwa pemberlakuan ambang batas untuk capres telah ‘membunuh’ talenta-talenta potensial untuk berkiprah. “Menyisakan ruang permainan hanya berputar-putar pada permainan tingkat partai papan atas sebagai otoritas pemegang kendali pemberian ‘tiket’ pencapresan pada siapa diinginkan melalui lobi-lobi politik belakang layar,” katanya.

Sementara publik, katanya, hanya sepatas menjadi penonton dan dengan terpaksa memilih pada pilihan terbatas. “Kata kuncinya pada otoritas tiket partai. Sedangkan elektabilitas racikan elektoral yang tinggi seakan-akan tidak berguna,” sebutnya.

Otoritas Partai

Jika merujuk pada pemilu sebelumnya, kata Pangi, sudah hampir pastik, ‘otoritas tiket’ hanya jadi monopoli partai-partai papan atas. Sehingga nama-nama yang berseliweran hari ini pada lembaga lembaga survei hanya akan menjadi hiasan di pemberitaan media. Kemudian akan hilang bahkan sebelum ‘pestanya’ mulai.

“Rujukan iya. Tapi belum tentu menjadi penentu. Seperti komentar Ketua Bappilu PDIP Bambang Wuryanto, elektabilitas bukan menjadi patokan dalam penentuan capres,” tutur Pangi.

Pangi menjelaskan, elektabilitas itu bukan kunci untuk mendapatkan ‘tiket’ pencapresan. “Silahkan Anies Baswedan tinggi elektabilitasnya, silakan Ganjar Pranowo tinggi elektabilitasnya, silakan Ridwan Kamil tinggi elektabilitasnya. Tapi tetap nama-nama yang bakal keluar dari saku kantong, mutlak pada partai yang menentukan,” tuturnya.

Menurutnya, adanya presidential threshold 20%, elektabilitas dan popularitas terkadang tak punya korelasi linear terhadap proses pencapresan. Kalau pun iya, tapi tidak menjadi faktor mutlak, itu bisa jadi bonus.

“Saya pikir nanti akan ada juga capres kaget. Publik terkaget. Bahkan bukan tidak mungkin nama-nama capres di luar cluster kepala daerah, menteri, dan ketua umum parpol,” katanya.

Oleh sebab itu, katanya, simulasi capres hanya akan berputar-putar pada partai-partai itu-itu saja yang bisa memenuhi PT. Karena sistem pemilu sedikit membatasi ruang gerak capres potensial, semisal PDIP, Gerindra dan Golkar. Sisanya gabungan partai papan tengah. Itu pun kalau tidak ada koalisi ‘gemuk’ yang menggembosi partai papan tengah.

“Kalau koalisi gemuk terjadi, kita sudah bisa tebak capres 2024 itu siapa saja. PDIP maunya siapa? Gerindra mau usung siapa? Golkar mau ikut dukung atau mau bikin poros alternatif sendiri? Saya ingin katakan, sisanya nanti hanya akan mengikuti arus,” paparnya.

Poros Pilpres

Pangi memprediksi bakal ada tiga poros nanti cukup potensial pada pilpres 2024. Poros pertama, koalisi PDIP-Gerindra-PKB dengan simulasi mengusung pasangan capres Prabowo-Puan. Kemudian poros kedua, koalisi Partai NasDem-PKS-Demokrat dengan simulasi pasangan capres Anies-AHY.

Poros ketiga, koalisi alternatif Partai Golkar-PPP-PAN dengan simulasi pasangan bisa nama-nama seperti Airlangga, Erick Tohir. “Terlepas dari partai mana yang nanti meminangnya menjadi capres termasuk nama Ganjar Pranowo, Sandiaga Uno dan Ridwan Kamil,” katanya.

Pangi juga membahas tentang pendekatan bentuk koalisi. Pertama, pendekatan ‘match all party’, koalisi berbasiskan personalistik, pragmatis dan populisme. Kedua, pendekatan ‘catch all party’, koalisi platform berbasiskan ideologi.

“Saya perhatikan koalisi kita selama ini lebih kuat DNA berbasiskan kekuasaan pragmatis ketimbang ideologis. Selain memang makin cair sekat ideologis lintas parpol. Artinya, koalisi bukan berbasiskan ideologi. Lebih menonjol basis pragmatisme politik,” tuturnya.

Pangi mengajak untuk mendorong agar peserta pilpres lebih dari dua pasang. Berdasarkan data hasil survei Voxpol Center juga menunjukkan sebesar 40,6% menginginkan Pilpres 2024 diikuti lebih dari dua pasang capres/cawapres.

“Sebanyak mungkin capres alternatif, meskipun terbentur presidensial threshold 20 persen. Jangan sampai terulang rematch pilpres bipolar. Akibatnya keterbelahan publik makin menganga lukanya, karena nggak ada capres alternatif sebagai pemecah gelombang dua kutub tersebut,” tuturnya.

sumber | suaranews.com

Related posts

Leave a Comment